CERDASBELANJA.ID - Jika sudah puas liburan, kini saatnya kita kembali mengatur keuangan kita untuk tujuan keuangan lainnya.
Kita bisa mengaturnya dengan menabung, dan lebih pintar lagi jika kita bisa berinvestasi.
Bukan apa-apa, dengan menabung saja sulit mengejar laju inflasi.
Beruntung saat ini ada banyak produk investasi yang bisa dicoba, salah satunya adalah investasi fintech peer to peer lending (P2P lending).
Investasi ini berjalan dengan konsep mempertemukan antara peminjam (borrower) dan pemilik dana (investor atau lender) yang berbasis teknologi.
Peminjam ini bisa berupa individu atau UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).
Asal tahu saja, berdasarkan data dari Investree (sebuah perusahaan fintech P2P lending), tercatat kenaikan lender perempuan sebesar 55 persen dari tahun 2020 ke 2021.
Hal ini menunjukkan adanya ketertarikan dan kesadaran perempuan untuk menambah pendapatan melalui aktivitas investasi P2Plending.
Salah satu faktornya mungkin karena modal investasinya terjangkau mulai dari Rp1 juta, dan tawaran imbal hasil yang cukup tinggi yakni sekitar 12-20 persen.
Meski menggiurkan, tetap perhatikan beberapa hal sebelum mulai menambah P2Plending dalam portofolio investasi kita.
Sebab, namanya investasi pasti ada risikonya.
Lantas, bagaimana agar bisa untung tapi tetap minim risiko saat investasi P2Plending?
Seperti Pilih Pasangan
Ibarat memilih pasangan yang harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya, begitu pula halnya saat kita ingin memilih peminjam.
Maka itu, Astranivari, Chief Marketing Officer Investree, menyarankan kita untuk membaca dan mengenali profil peminjam terlebih dulu.
Sebab masalah datang karena banyak orang malas membaca dan langsung pilih imbal hasil yang tertinggi saja.
Kemudian tidak melakukan analisa yang cukup terhadap pendanaan yang akan dilakukan.
“Kalau di Investree, kita tidak menampilkan nama PT yang meminjam. Tapi, dari profilnya itu akan ditulis misalnya, perusahaan bergerak di bidang apa, proyeknya seperti apa, dan siapa yang akan melakukan pembayaran terhadap proyek (payer). Data-data ini penting diperhatikan lender,” jelas perempuan yang akrab disapa Vari ini.
Analisa ini jadi penting untuk mengetahui tingkatan risiko yang akan kita ambil.
Misalnya, payer adalah institusi pemerintah.
Artinya, dari sana kita bisa mengetahui bahwa pembayaran akan menggunakan APBN atau APBD.
Jadi pastinya akan terbayarkan, dan artinya risikonya pasti rendah.
“Dari situ bisa dilihat loan assessment-nya masuk grade mana, apakah A, B, atau C? Kalau grade A itu imbal hasilnya berkisar 12-14 persen. Makin tinggi (grade-nya, red.) maka risiko makin tinggi, juga imbal hasilnya,” jelas Vari.
Pecah ke Beberapa Grade
Selain itu, ada perumpamaan yang bilang “Jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang yang sama.
Prinsip ini bisa kita terapkan juga saat melakukan pendanaan di investasi P2Plending.
“Jadi, kalau punya uang Rp10 juta, jangan menaruh di satu loan saja. Tapi, bisa dibagi di beberapa loan dengan risiko yang berbeda. Misalnya, ke grade A Rp3 juta, ke grade B Rp3 juta, dan grade C Rp4 juta. Membagi loan belum tentu menguntungkan, tapi yang pasti akan membagi atau meminimalisasi risiko yang mungkin dihadapi,” saran Vari.
Baca Juga: Cara Mewariskan Reksa Dana Saat Pemilik Aset Meninggal, Pakai Fitur dari Bibit
Mengapa perlu demikian, karena investasi P2Plending juga memiliki risiko seperti gagal bayar, telat pembayaran, dan lainnya.
Meski memang beberapa perusahaan fintech P2P lending sudah memiliki mitigasi risiko dengan pemberian asuransi pada tiap pendanaan.
Nah, jika kita mampu menganalisa peminjam dan melakukan diversifikasi pinjaman, maka peluang untung dengan risiko kecil bisa sangat terwujud di investasi P2P lending ini. (*)