Di Indonesia, ada banyak brand mancanegara yang menjadikan menu fried chicken sebagai hidangan utama. Ada pula pemain-pemain lokal independen dengan konsep gerobak yang juga bermain di sektor ini.
Meski demikian, ada sektor yang belum terjamah ketika d’BestO dimulai, yakni gerai fried chicken yang terjangkau dan bisa dinikmati berbagai kalangan, tetapi memiliki rasa yang lezat, konsisten, dan bersertifikasi MUI.
Wahyu menjelaskan, restoran fried chicken umumnya memiliki harga yang relatif tinggi. Sementara itu, banyak brand dalam skala yang lebih kecil tidak memiliki standarisasi yang kuat, sehingga membuat rasa yang berbeda-beda.
“d’BestO hadir sebagai solusi dengan menyediakan produk fried chicken dengan rasa yang lezat, konsisten, terjangkau, dan dapat ditemukan dengan mudah,” kata Wahyu.
Wahyu melanjutkan, produk yang dijual pasti ada waktunya akan sama atau mirip dengan kompetitor. Namun, selalu ada jalan untuk menemukan celah yang bisa dimaksimalkan.
3. Inovasi dengan Memaksimalkan Sumber Daya yang Ada
Pengusaha mana pun pasti setuju, jika inovasi merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan suatu bisnis. Namun, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, fokus pada inovasi juga berpeluang membuat pengeluaran membengkak.
Untuk menyiasatinya, d’BestO memilih untuk fokus berinovasi dengan memaksimalkan bahan baku yang telah ada.
Menurut Wahyu, selain efisiensi, inovasi menggunakan bahan baku yang sudah ada juga memungkinkan d’BestO untuk fokus pada keunggulannya, yaitu aneka produk fried chicken, burger, dan turunannya.
Kemudian agar konsumen tidak bosan, d’BestO selalu mengeluarkan menu baru setiap 3-4 bulan sekali.
Terbaru, mereka mengeluarkan produk Ayam CLBK (Ayam Celup Bakar), serta ayam crispy yang melalui dua metode masak, yaitu digoreng lalu dibakar. Ayam CLBK, dilapisi dengan saus khas d’BestO yang menghasilkan rasa yang unik, lezat, dan tak terlupakan.